Sudah sejak 2020 saya mulai intens dengan Padang. Sebuah kota yang absurd. Kota yang punya ambiguitas. Kota yang memaksa diri untuk relijius di tengah ketidak-relijiusan dan kerusakan moral. Kota yang berantakan tapi indah ini.
Saya merasa seperti merantau-pulang. Sebab ibu saya orang Minang dari Pariaman, tepatnya di Ulakan. Dekat makam Syech Burhanudin yang belajar agama Islam di Aceh. Padang adalah kota tempat ibu saya menjalani usia dewasanya. Dia tumbuh, bekerja dan berteman orang-orang Padang. Sama halnya dengan perantau lain, banyak alasan yang membuatnya harus meninggalkan Sumatera Barat dan meninggalkan cemeeh pada Kota ini. Kota yang terlalu banyak bicaranya, kata ibu saya.
Meski pun begitu kota ini masih meninggalkanjejak-jejak sejarahnya. Buku-buku seperti tulisan Rusli Amran dan penulis lainnya, bangunan-bangunan tuanya, ingatan-ingatan masyarakatnya dan cemeeh-cemeeh orang-orang Padang memiliki sejarahyang masih bisa dilacak. Mengapa makanan Padang terlalu banyak rempah, mengapa tarian Balanse Madam ada unsur portugisnya, bangunan-bangunan kolonial yang masih berdiri di kawasan Muaro dan Pondok dan banyak lagi. Namun seperti halnya manusia yang punya kekurangan pasti juga punya kelemahan. Kelemahannya Padang melalui pemerintahnya tak bisa mengelola kotanya dengan baik.
Pemerintahnya terang-terangan memihak ke golongan tertentu, pemerintahnya terang-terangan tak paham bagaimana mengelola sebuah kota, banjir di mana-mana, apa yang sakit beda yang diobat, abrasi terus terjadi tapi batu-batu besar saja yang diletak di pesisir, itu pun tidak merata.
Padang adalah tempat tokoh fiksi seperti Siti Nurbaya dibikinkan kuburan dan jembatannya. Padang adalah kota yang tidak belajar dari masa lalu yang rajin dicatat oleh masyarakatnya sendiri, baik secara lisan atau pun tulisan. Padang adalah kerumitan pengelolaan tanah adat dan konflik-konflik sumber daya alam.
Kota ini seperti berkelimpahan dan karenanya mereka merasa berhak untuk berlebih-lebihan. Terhadap apa pun. Ya, apa pun. Dia punya alam yang indahnya kelewatan. Namun manusianya juga kelewatan.