Cerita Mardi Pembuat Desain Tugu Juang Jambi

Jaka hb
4 min readAug 7, 2019

--

Mardi: Ada kepuasan tersendiri saat berkarya
*perancang patung perjuangan di tugu juang

Setiap sore jalanan di tugu juang padat merayap. Patung perjuangan yang menghadap ke barat dan berwarna kehitam-hitaman menjadi saksi perkembangan kota sepucuk jambi sembilan lurah ini.

“Sebenarnya warna yang dipakai itu warna perunggu, tapi karena proses oksidasi diatas situ jadinya warnanya gelap,” ungkap Sumardi, pembuat Patung di Tugu Perjuangan.

Sumardi baru saja pulang dari kerjanya melukis motif batik di dindingpemakaman umum. Ia melepas topinya dan mempersilahkan duduk Tribun.

Ia membuka kotak rokok gudang garamnya dan mengambil satu isinya. Rambutnya yang banyak putih sama sekali tak menandakan dia sudah berhenti bekerja di dunia seni rupa.

“Pas tahun 1991 itu. Semua arsitektur di tugu juang itu sudah semua, sampai tempat pijakan patung, tapi patungnya belum ada,” lanjutnya.

Ia kemudian ditunjuk oleh DPR masa itu untuk merancang sebuah patung. Ia pun membuat gambar sebuah wujud pejuang.”semuanya sudah disiapkan para arsitek. Tinggal patungnya,” katanya lagi.

Wujud pejuang itu digambarkan dengan posisi sedang memegang bambu runcing.

“Menggunakan bambu runcing yang ada ikatan benera merah putihnya, lalu keris, sarung karena orang jaman dulu identik dengan sarung, ikat kepala dan dulu ada sepatu,” kata Mardi.

Soal sepatu pada akhirnya dihilangkan. “Orang DPR waktubitu nggak setuju. Katanya mana ada orang pake sepatu pas berjuang dulu,” ungkapnya.

Lantas desain pejuang dengan sepatu lars pun diganti. Hingga kita kita bisa lihat kakinya tak beralas dan celana bagian bawah digulung.

Setelah desain disetujui, ia pun mengerjakan selama kuranglebih dua tahun. “Langsung diatas pijakan yang sekarang itu kerjanya. Siang-siang, dengan tim empat orang,” kenangnya.

Sumardi adalah pria kelahiran Kuala Tungkal. Ia lahir tanggal 17 Mei 1950. Mardi mengaku hanya menonton saja bagaimana era revolusi hingga pasca G 30 S dulu.

Ia sempat berkarya pada saat masih bersekolah di tingkat SMP. “Waktu itu disuruh melukis tujuh pahlawan revolusi dan dipasang di gedung nasional, di Tungkal itu,” ungkapnya.

Sekarang gedung beserta lukisannya sudah tak ada katanya. Lantas ia melanjutkan hobi-nya pada seni rupa itu hingga pada rahun 1973 ia hijrah ke ASRI, Sekolah seni di Yogyakarta. Namun ia tak menyelesaikanya hingga tahun berikutnya ia pulang ke Jambi.

Ia punya beberapa idola tersendiri dalam seni rupa. Lelaki beranak lima ini sempat bertemu dengan Affandi, pelukis besar di Yogyakarta. “Bagus itu, sama pak Edi Sunarso yang bikin patung selamat datang di Jakarta itu. Selain itu Bud Mukhtar juga,” ungkapnya menyebut seniman yang diidolakan.

Ia terus melukis hingga pada 1980 ia diangkat jadi PNS di dinas P dan K ( Pendidikan dan Kebudayaan). Banyak karyanya kemudian bertebaran di Jambi hingga sekarang.

Ia menyebutkan satu per satu mulai dari baliho bergambar presiden, gubernur dan menteri yang datang ke Jambi hingga monumen yang sehari-hari dilewati warga Jambi sendiri. Mulai dari patung perempuan di Taman Budaya Jambi dan patung kontemporer di TBJ.

“Patung di Makalam itu juga saya yang bikin, di Thehok yang mau ke bandara, lalu yang di Bulian itu yang dekat Polres atau apa itu terakhir ya relief yang di gentala arasy dan lukisan batik di pemakaman umum itu,” katanya.

Ia memperlihatkan foto sebuah monumen yang berbentuk Y dengan pengawal di kiri dan kanannya. “Ini karya saya yang menurut saya paling artistik. Tidak seperti tugu juang yang saya cuma desain patungnya saja, tapi ini seluruhnya saya yang rancang,” katanya kemudian menghisap gudang garamnya.

Suasana rumah Mardi di Sungai Sawang sore itu begitu asri. Di ruang tamu tempat kami berbincang ada beberapa karya lukisannya. Ia juga mengajak Tribun ke ‘kamar kerjanya’.

Ia menperlihatkan karya-karya lukisnya. Mardi mengaku tak terpaku pada satu aliran. Tapi ia ktakan berulangkali bahwa sangat perlu seorang perupa menguasai gaya realis terlebih dahulu agar enak kalau mau menggambar lainnya.

“Tapi tetap pake observasi dulu. Bahan-bahan sejarah, bagaimana keadaan dulu dan lain sebagainya,” ungkapnya kemudian menyinggung proses pembuatan tugu juang.

Proses berkesenian menurutnya sekarang menjadi mata pencaharian sekaligus kepuasan batin. Ia tak punya pikiran kapan akan berhenti berkesenian.

“Sampai kapan? Sampai nanti lah,”ungkapnya sambil terkekeh.

Ia pun melihat apresiasi seni rupa kini sudah mulai meningkat. Meski pun banyak orang hanya sekedar tau terhadap karya seni yang ada di Jambi. Tidak begitu banyak yang paham ketika ditanya arti dari patung dan karya seni yang ada.

Mardi berencana selepas tugasnya membuat gambar batik di pemakaman umum selesai, ia akan pulang ke Merangin untuk beberapa waktu. Di sana ia akan membuat sesuatu untuk mengenang Merangin pada masa revolusi.

“Mau mudik ke Bangko. Mau membikin sesuatu untuk mengenang bangko saat dulu. Dulu kan Sumatera ada tiga provinsi dan Merangin dulu sekarang dipecah menjadi Tebo, Bangko, Bungo dan Sarolangun,” katanya.

Teh hangat mmenemani sore Tribun bersama Mardi yang sedang membuka-buka dokumentasi karya lamanya. Ia sempat mendengar selentingan bahwa tugu monas di kota baru itu akan diganti atasnya.

Itu sama saja dengan melupakan sejarah awal dibentuknya kota Jambi. Ungkap Sumardi kemudian menghisap kembali rokoknya.

*Pernah terbit di Tribun Jambi pada tahun 2015

--

--

Jaka hb
Jaka hb

Written by Jaka hb

Full-time journalist. Suka foto-foto dan bikin video. Medium adalah tempat bersenang-senang dengan kata-kata untuk urusan personal atau yang bukan.

No responses yet